Welfarian Indonesia suatu pergerakan yang memperjuangkan kesejahteraan satwa domestik ataupun liar,karena minimnya pengetahuan tentang apa itu "Animal Welfare" di masyarakat Indonesia,maka dari kita sebagai masyarakat welfarian tergerak untuk menyuarakan dan memperjuangkan kesejahteraan satwa di Indonesia.
Sementara ini Welfarian Indonesia mempunyai cabang di 4 kota, Surabaya,Bali,Solo,Bekasi dan mungkin akan bertambah lagi dengan seiringnya waktu dan kasus-kasus penindasaan satwa di Indonesia.
Perjuangan Welfarian Indonesia dan Welfarian kota lain intinya sama seperti:
- Menyuarakan dan memperjuangkan penutupan sirkus lumba Indonesia
- Edukasi ke masyarakat tentang Animal Welfare
- Rescue Domestic Animal
- And More
Dasar Welfarian Indonesia
adalah gerakan tentang “Animal Welfare” atau
kesejahteraan satwa tangkapan dan rumahan
,sebuah gerakan yang murni berdasar atas satu
kejadian terhadap satwa tangkapan di satu tempat dimana ada pelanggaran atas
poin sbb:
1.
Satwa
(Captive Animal) berhak mendapatkan makan dan minum yang cukup sesuai kebutuhan
dan peruntukannya.
2.
Satwa
(Captive Animal) berhak mendapatkan tempat bernaung yang layak, sesuai dengan
sarang mereka di alam bebas.
3.
Satwa
(Captive Animal) berhak terbebas dari sakit penyakit dan siksaan.
4.
Satwa
(Captive Animal) berhak berperilaku normal sesuai kodratnya sebagai satwa liar.
5. Satwa (Captive Animal) harus bebas dari
rasa stress.
Dan jika ada satu poin saja terlanggar dan captive animal
berada dibawah pengawasan satu organisasi, maka sudah pasti itu adalah
tanggungjawab penuh dari pengelola.
Landasa Welfarian Indonesia Bergerak adalah :
Pasal 302 :
(1) Diancam
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena
melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:
1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui
batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan
kesehatannya;
2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui
batas yang diperlukan untuk mencapai
tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi
makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menj adi
kepunyaannya dan ada di bawah
pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau
pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika
hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4)
Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
Penjabaran Pasal 302
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat (1) ialah
kejahatan penganiayaan enteng pada binatang. Untuk itu harus dibuktikan bahwa:
Sub 1:
- orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang
- perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
Sub 2:
- sengaja tidak memberi makan atau minum kepada binatang
- binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya
- perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
“perbuatan
seperti memotong ekor dan kuping anjing supaya keliahatan bagus, mengebiri
binatang dengan maksud baik yang tertentu, mengajar binatang dengan memakai
daya upaya sedikit menyakiti pada binatang untuk circus, mempergunakan
macam-macam binatang untuk percobaan dalam ilmu kedokteran (vivisectie) dsb.
itu pada umumnya diizinkan (tidak dikenakan pasal ini), asal saja dilakukan
dengan maksud yang patut atau tidak melewati batas yang diizinkan. Tentang hal
ini bagi tiap-tiap perkara harus ditinjau sendiri-sendiri dan keputusan
terletak kepada hakim. Namun jika perbuatan tersebut mengakibatkan hal-hal yang
tersebut dalam ayat (2), maka kejahatan itu disebut “penganiayaan binatang” dan
diancam hukuman lebih berat.” Ditinjau kembali .
Jika memang hewan tersebut
bukan hewan yang dilindungi negara, maka pada dasarnya undang-undang di
Indonesia mewajibkan setiap orang untuk melakukan pemeliharaan, pengamanan,
perawatan, dan pengayoman hewan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari
rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa
takut dan tertekan, demikian bunyi Pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan (“UU
18/2009”).
Aturan Di Luar KUHP Pasal 302
Ada
aturan di luar KUHP yang juga mengatur mengenai satwa, mengenai hal ini
kita dapat melihat ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU
18/2009, yang berbunyi:
“Untuk kepentingan kesejahteraan
hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan;
penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan;
pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap
hewan.”
Kepentingan
kesejahteraan hewan yang dimaksud dalam pasal tersebut salah satunya meliputi
(lihat Pasal 66 ayat [2] huruf c UU 18/2009):
“Pemeliharaan, pengamanan,
perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan
bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan,
serta rasa takut dan tertekan;”
Dalam Penjelasan Pasal 66 ayat [2] huruf c UU 18/2009
disebutkan:
Yang dimaksud dengan “penganiayaan”
adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan
memperlakukan hewan di luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan,
misalnya pengglonggongan sapi.
Yang dimaksud dengan “penyalahgunaan” adalah tindakan untuk
memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan
secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan
tersebut, misalnya pencabutan kuku kucing.
Peraturan lainnya mengenai perlakuan hewan secara wajar juga
diatur lebih khusus dalam Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun
2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (“UU 95/2012”) yang berbunyi:
“Setiap
orang dilarang untuk:
a. menggunakan
dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat berpengaruh
terhadap kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan;
b. memberikan
bahan pemacu atau perangsang fungsi kerja organ Hewan di luar batas fisiologis
normal yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan
kematian Hewan;
c. menerapkan
bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau produk Hewan transgenik yang
membahayakan kelestarian sumber daya Hewan, keselamatan dan ketenteraman bathin
masyarakat, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
d. memanfaatkan
kekuatan fisik Hewan di luar batas kemampuannya; dan
e. memanfaatkan
bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis.”
Dari beberapa peraturan yang kami sebutkan di atas yang pada
umumnya mengatur mengenai hewan yang tidak dilindungi oleh negara, ada pula
peraturan yang secara khusus mengatur mengenai hewan/satwa yang dilindungi.
Peraturan
tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”). Pasal 1 angka 5 UU 5/1990 memberikan
definisi mengenai satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup
di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU
5/1990 menggolongkan jenis satwa, yang selengkapnya pasal tersebut
berbunyi:
“Tumbuhan
dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan
dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan
dan satwa yang tidak dilindungi.”
Mengenai larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap
satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang
berbunyi:
“Setiap
orang dilarang untuk
a. menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan
satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan,
menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang
dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia;
e. mengambil,
merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau
sarang satwa yang dilindungi.”
Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut adalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Demikian sebagaimana diatur
dalam Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990.
Sedangkan untuk dapat atau tidaknya Anda menuntut orang yang
melakukan penganiayaan terhadap hewan, hal ini dapat saja dilakukan akan tetapi
dalam bentuk pelaporan. Anda dapat melaporkan suatu tindak pidana penganiayaan
terhadap hewan kepada kepolisian. Nantinya, pejabat penyidik pegawai negeri
sipil yang akan melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan (Pasal
84 ayat [2] huruf a UU 18/2009).
Dasar
hukum:
Putusan:
WELFARIAN
Secara historis, masyarakat welfarian adalah
komunitas yang terbentuk berdasar pada satu kesadaran yang sama, empati
mendalam yang sama terhadap beberapa ketidak adilan pada satwa tangkapan dan
domestikasiJauh sebelum revolusi industri bergulir, ketika manusia berhasil mendomestikasi satwa untuk membantu pekerjaannya, mulai kuda sebagai sarana transportasi, anjing sebagai penjaga dan sahabat, sapi penyedia susu dll.
Dimana manusia sangat tergantung pada satwa untuk support kualitas hidup dan kemudahan, dan yang semula sebuah ikatan emosional kuat menjadi satu ikatan budak majikan, sampai pada satu bentuk pertalian yang sudah tanpa “ikatan” selain cuma sebuah hubungan manusia dengan alat bantu saja.
Sebuah kejadian, satu waktu dimana banyak sekali kuda penarik kereta mati kelaparan dan kehausan, dimana hal itu dianggap wajar oleh para pemilik kuda yang notabene adalah kaum borjuis, yang menilai kuda hanya gemerincing uang kecil… mati bisa beli lagi.
Dari satu komunitas kecil, disatu negeri di eropa beberapa manusia berteriak menyuarakan kepedihan kuda itu, dan menggugat.. kegiatan anti mainstream pada awal abad 19 yang dicibir dan ditertawakan dunia saat itu.
Komunitas kecil yang tuli oleh cibiran, menolong kuda tunggang kehausan dan kelaparan tanpa peduli cibiran sekitar, fokus pada kesejahteraan kuda dan bukan yang lain, empati terhadap rasa haus sang kuda yang menjadi dorongan untuk membantu memberikan pertolongan.
Sikap dasar dari welas asih, merasa sesama penghuni bumi yang kecil ini.
Gerakan komunitas kecil ini membawa manusia lain pada suasana dimana titik kesadaran welas asih merupakan kunci untuk kelestarian dan kelangsungan dunia ini.
Keberlangsungan dan keseimbangan.
Seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin rusaknya dunia akibat kesombongan manusia dan juga kesadaran manusia bahwa satwa adalah benteng terakhir keseimbangan alam setelah banyak hutan ditebas untuk industri… gerakan kecil dari masyarakat yang peduli ini membesar dan makin membentuk satu kekuatan yang memiliki suara di penguasa.
Hingga muncullah konsep kesejahteraan satwa yang dikenal dengan “Animal Welfarian” dengan konsep dasar sebagai berikut :
1. Satwa tangkapan harus bebas rasa lapar dan haus.
2. Satwa tangkapan harus mendapatkan tempat tinggal yang terlindung seperti kondisi aslinya di alam.
3. Satwa tangkapan harus bebas dari sakit penyakit.
4. Satwa tangkapan berhak berprilaku normal sesuai aslinya.
5. Satwa tangkapan harus bebas dari stress dan tekanan.
Berangkat dari poin tersebut, gerakan masyarakat welfarian mendapatkan titik fokus yang sama dan satu visi penyelamatan satwa atas segala penindasan dari mahluk mulia bernama MANUSIA.
Dengan makin maraknya selubung penyiksaan dengan topeng konservasi, maka kita… beberapa manusia yang peduli berkumpul bersatu dan berjuang pada satu wadah bernama “Animal Welfare Surabaya” atau Surabaya Welfarian. *SALAM ASU*